Selasa, 23 Maret 2010

konsolidasi perbankan

KONSOLIDASI PERBANKAN
Holding BUMN Sangat Mungkin


Kamis, 4 Maret 2010
JAKARTA (Suara Karya): Pembentukan perusahaan induk (holding company) untuk bank-bank berstatus BUMN sangat dimungkinkan untuk dilakukan. Namun begitu, bukan berarti opsi penggabungan usaha (merger) diantara beberapa bank berpelat merah itu tidak dimungkinkan.
Cuma perlu ada kajian yang lebih mendalam mengenai aksi korporasi itu, karena keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan yang harus diminimalisir. Yang terpenting adalah apapun yang dipilih harus dapat merealisasikan kebijakan pemerintah.
Pengamat perbankan UGM Sri Adiningsih ketika dihubungi Suara Karya, di Jakarta, kemarin, mengatakan bahwa jika pemerintah memutuskan untuk melakukan merger untuk bank-bank BUMN maka mesti perlu perlakuan khusus. Karena, negara seperti Indonesia membutuhkan lembaga yang dapat mengimplementasikan seluruh kebijakan. Kebijakan pemerintah, misalnya, pelaksanaan untuk kredit UKM, dan sumber daya alam (SDA).
"Saya melihat mestinya ada bank-bank BUMN yang fokus untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Tidak hanya sekedar mencari keuntungan saja," tuturnya.
Dalam pandangan Sri Adiningsih, dalam pembentukan hodling company tidak terlalu rumit. Pasalnya, semua bank-bank berstatus BUMN yang menjadi anak bahkan cucu dari perusahaan induk tetap memungkinkan berstatus BUMN. Penyebabnya, hal itu merupakan aset negara yang dipisahkan, dengan ditopang oleh audit yang lebih dapat dipertanggungjawabkan serta ada konsolidasi terhadap perusahaan induk.
Namun begitu, dia tidak mengingkari jika bank BUMN dapat menjadi bank berskala internasional, dengan mengelola sisi komersial, seperti yang dilakukan oleh bank-bank swasta maupun asing.
Di kesempatan lain, Kementerian Negara BUMN kembali mengomentari wacara merger antara BNI dan Bank Mandiri. Deputi Kementerian BUMN Bidang Usaha Perbankan dan Jasa Keuangan Parikesit Suprapto menjelaskan pernyataan hal itu merupakan wacara lama, seiring dengan pembentukan bank berskala internasional.
Dia menilai, jika kedua bank tersebut harus dilebur maka akan membutuhkan waktu yang lama akibat proses yang terbilang rumit dan panjang. Dicontohkannya, seperti peleburan Bank Mandiri yang sebelumnya tediri dari 4 bank.
Selain, dengan adanya penggabungan akan terjadi pemangkasan jumlah pegawai pula, yang berarti akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar.
Namun begitu, diakuinya, bukan berarti aksi korporasi itu tidak bisa dilakukan, sebab secara teori dapat dimungkinkan.
Ketika ditanyai seputar rencana permintaan Kemenneg BUMN terkait penundaan implementasi kepemilikan tunggal yang berakhir tahun ini, Sri Adiningsih secara umum sepakat dengan Kemenneg BUMN. Bahkan, dalam penilainnya pembentukan holding company sudah dapat terealisir sebelum dua tahun.
"Tapi, yang terpenting adalah tergantung dengan persiapannya, jangan sampai justru menimbulkan biaya yang tidak sedikit," katanya. (Agus/Sabpri) KREDIT
NPL Perbankan Syariah 4,01 Persen Kamis, 4 Maret 2010
JAKARTA (Suara Karya): Rasio pembiayaan bermasalah (non performing finance syariah/NPFs) perbankan syariah pada tahun 2009 tercatat sebesar 4,01 persen. Sementara itu, total pembiayaan mencapai Rp 46,886 triliun.
Demikian data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), kemarin. BI menjelaskan bahwa pembiayaan yang disalurkan oleh bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) seluruhnya untuk usaha kecil dan menengah (UKM). Dari jenis pembiayaan, sebagian besar untuk modal kerja senilai Rp 22,873 triliun (48,8 persen), diikuti oleh konsumsi Rp 14,058 triliun (30 persen) dan pembiayaan investasi Rp 9,955 triliun (21,2 persen). Sistem pembiayaan bank syariah masih didominasi akad murabahah sebesar 56 persen atau Rp 26,321 persen dan akad mudharabah sebesar 22 persen (Rp 10,412 triliun). Sementara untuk sistem pembiayaan lainnya belum banyak diminati, dimana akad musyarakah hanya menyalurkan pembiayaan Rp 6,587 triliun, akad ijarah Rp 1,305 triliun, akad qardh Rp 1,829 triliun dan akad salam tidak diminati masyarakat.
Rasio pembiayaan bermasalah (non performing finance syariah/NPFs) sebesar 4,01 persen. Kategori pembiayaan bermasalah yang mencapai Rp 1,882 triliun ini yang benar-benar macet Rp 865 miliar, sedangkan sisanya Rp 582 miliar diragukan, dan Rp 435 miliar kurang lancar.
Sementara dari sisi dana pihak ketiga (DPK) perbankan syariah pada 2009 mencapai Rp 52,271 triliun. Komposisi DPK perbankan syariah ini terdiri dari giro senilai Rp 6,202 triliun, tabungan Rp 16,475 triliun dan deposito Rp 28,595 triliun. Perbankan syariah terdiri dari enam BUS dan 25 UUS dengan total aset per 2009 mencapai Rp 66,090 triliun atau 2,6 persen dari total aset bank umum nasional Rp 2.534,106 triliun. (Devita)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar